Wednesday, May 17, 2017

How does a media convergence affect the shifting of society roles?

Khalayak atau Audiens media dari waktu ke waktu mengalami perubahan yang dapat dianalisis melalui beragam faktor. Salah satunya adalah dalam teknologi. Perubahan khalayak dijelaskan melalui integrasi antara media lama dan baru yang diilustrasikan melalui akses radio sebagai media konvensional melalui komputer atau telepon genggam (Couldrey, 2012). Hal ini merupakan salah satu bentuk dari konvergensi media. Pembahasan ini selaras dengan pernyataan Mulder (2006) dalam bahasan New Media pada artikelnya ‘Theory, culture, & Society’ terkait remediasi media lama oleh media baru.
Dalam analisis perubahan khalayak pada tipe teknologi, salah satu faktor yang sangat berpengaruh adalah kemunculan internet. Terjadi perubahan dalam beberapa hal. Pada model ini, konten dari suatu media tidak hanya diproduksi oleh perusahaan media namun juga oleh individu (khalayak). Kemunculan internet memperlihatkan bahwa terdapat power yang dimiliki khalayak terhadap media.  Terdapat istilah ‘pull model’ yang menjelaskan bahwa khalayak (sebagai receiver) hanya menerima informasi yang diinginkannya. Penjelasan mengenai preferensi khalayak dalam mengonsumsi konten dijelaskan melalui teori Uses and Gratification. Teori ini menyatakan bahwa khalayak bukan merupakan audiens pasif yang begitu saja menerima konten yang disajikan oleh media, namun khalyak merupakan khalayak yang aktif dalam memilih konten media yang sesuai dengan kebutuhannya dan keinginannya (Rayner, Philip, dan Wall, 2012).  Mengenai bagaimana individu memilih konten yang disajikan dijelaskan melalui pendekatan fungsional dalam komunikasi massa (Dominick, 2005).
Namun apabila dilihat dari sisi sosial/spasial. Abercrombie dan Longhurst dalam Couldrey (2012) mengidentifikasi tiga fase dalam perkembangan khalayak:
1.      The Simple Audience: khalayak memiliki batasan yang jelas dengan penampil dalam media dalam konteks teater
2.      The Mass Audience: hubungan khalayak dengan media konvensional seperti koran, radio, atau televisi
3.      The Contemporary ‘diffused audience’: hubungan khalayak yang berlangsung secara permanen melalui media elektronik atau yang lainnya yang bersinggungan dengan hampir seluruh aktivitas sosial dan kehidupan privat
Perubahan ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi. seperti pada simple audience menjelaskan interaksi antara khalayak dengan ‘penampil’ dalam pertunjukan teater. Batasan antara khalayak dan penampil terlihat sangat jelas karena memiliki peran yang sangat berbeda melalui komunikasi yang berlangsung satu arah. Kemudian Abercombie dan Longhurst menjelaskan tahapan selanjutnya dalam mass audience. Ini ditandai dengan konsumsi khalayak terhadap munculnya media-media konvensional seperti koran, radio, dan televisi. Pada tahapan terakhir khalayak mencapai fase the contemporary diffused audience. Setiap khalayak telah terhubung secara permanen oleh medium dalam hampir setiap aktivitas kehidupan sosial dan pribadinya. Nosi dari diffused audience memaparkan bahwa media berada dimana-mana (Couldrey, 2012). Couldrey menyatakan pada tahapan ini perubahan dari sikap khalayak terjadi, yaitu mematahkan argumen mengenai khalayak yang hanya duduk menikmati suatu program (pada tahapan simple audience). Khalayak telah memiliki kekuasaan yang lebih terhadap media melalui power shifted yang terjadi dalam fase ini. Media tidak lagi sepenuhnya menguasai khalayak, melainkan kekuasaan tersebut dibagi dengan khalayak. Melalui penjelasan ini, warga (khalayak) memiliki kekuasaan terhadap media dalam menciptakan konten dan menyebarkannya sesuai dengan kehendaknya

Daftar Referensi
Couldrey, Nick. (2012). The Extended Audience: Scanning the Horizon. Australia: University of Wollongong Library
Dominick, J. R. (2005). The dynamics of mass communication. New York: Random House.
Rayner, Philip dan Wall. (2012). AS Media studies: The essential introduction for Aqa (essential). London: Rouledge.




Jurnalisme Masa Kini: Citizen Journalism atau Jurnalisme Mainstream?

            Pemilu di Amerika Serikat pada tahun 1988 merupakan salah satu latar belakang munculnya inovasi praktik jurnalisme yang disebut sebagai Civic Journalism. Saat itu para khalayak mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream di Amerika Serikat terkait pemilihan presiden di Amerika Serikat (Purnomo, 2011). Media dianggap tidak mewakili kepentingan publik dan bersifat komersil. Civic Journalism muncul sebagai bentuk kritik atas kejadian tersebut. Jurnalisme publik bertujuan untuk kembali mengoptimalkan fungsi media dalam tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadikan wartawan lebih responsif dengan masalah yang menjadi perhatian masyarakat (Kurniawan, 2007). Civic Journalism ini dikembangkan oleh wartawan profesional atas dasar ketidakpercayaan tersebut dengan kembali mempertanyakan hal-hal fundamental dalam praktik jurnalisme. Selain itu, pemikiran baru terhadap praktik jurnalisme ini juga menekankan bahwa jurnalisme bukan lagi hanya ranah yang dapat dikuasai oleh jurnalis. Setelah berjalan selama beberapa tahun, Civic Journalism membubarkan diri pada tahun 2003 karena membutuhkan dana yang besar. Meskipun telah bubar, praktik Civic Journalism yang mengindikasikan bahwa kegiatan jurnalisme dapat dipraktikkan oleh siapa saja menjadi pemicu untuk munculnya Citizen Journalism atau CJ (Kurniawan, 2007).
            Perkembangan teknologi menjadi faktor pendorong utama dalam perkembangan CJ. Masyarakat dapat dengan bebas menciptakan konten informasi mereka sendiri melalui ketersediaan software dan dengan lingkungan digital baru, yaitu Web 2.0. Collins (2007) mendeskripsikan era Web 2.0 ditandai dengan ketersediaan file and media – sharing melalui internet. Dengan begitu, praktik sosial mengalami perubahan yang signifikan. Bruns (2007) menjelaskan perubahan ini melalui adanya konsep produsage yang menciptakan era user-led creation. Produsage mentransformasikan era industri menjadi era informasi. Praktik tersebut, user-led creation berlangsung di lingkungan daring. Pada era ini jejaring sosial muncul sebagai kendaraan dalam sirkulasi informasi (Bruns, 2007). Perubahan perilaku masyarakat oleh produsage inilah yang menjadi faktor utama dalam mendukung perkembangan CJ secara pesat dikalangan masyarakat itu sendiri.
Kehadiran CJ merupakan sesuatu yang berpengaruh dalam dunia Jurnalisme. CJ sendiri dapat dipraktikkan melalui berbagai media, mulai dari media tradisional hingga media baru. Untuk media tradisional, CJ dapat bekerjasama dengan jurnalisme mainstream untuk menciptakan sebuah bentuk jurnalisme baru yang lebih efisien karena sumber daya yang mencukupi. Proses verifikasi dan keabsahan berita dari CJ pun terjamin melalui proses seleksi yang dilakukan ketika menyebarkan berita melalui media tradisional, dalam hal ini CJ dan Jurnalisme mainstream bisa bekerja sama denagn baik dan mengindikasikan bahwa CJ bukanlah ancaman terhadap praktik jurnalisme mainstream. Namun untuk media baru CJ masih harus dikembangkan lagi karena regulasi terhadap CJ di media baru sangat minim seperti tidak ada proses verifikasi atau landasan hukum yang jelas. Hal ini tentu membahayakan apabila konten yang dianggap CJ memberikan dampak negatif seperti hal-hal yang berkaitan dengan SARA atau konten kontroversial yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Penulis berpendapat jika CJ di media baru mendapatkan dukungan untuk dikembangkan seperti adanya prosedur dan aturan yang jelas. praktik jurnalisme di masa depan akan menjadi lebih baik karena semakin banyak sumber daya jurnalis yang dapat mengumpulkan dan menyebarkan berita-berita penting untuk khalayak. Fenomena Web 2.0 masih membutuhkan sebuah regulasi yang baik, serta adanya produsage mengharuskan masyarakat agar lebih berhati-hati lagi dalam menciptakan konten dalam sebuah kebebasan.

Daftar Referensi
Bruns, Axel. (2007). Produsage: Towards a Broader Framework for User-Led Content Creation

Collins, Steve (2008). Recovering fair use, M/C Media Culture 11 (6).

Kurniawan, Moch. Nunung. (2007). “Jurnalisme Warga di Indonesia, Prospek, dan Tantangannya.” Makara, Sosial Humaniora, 11(2), 71-78



            

Friday, March 10, 2017

The “Left” Right of the Copyright
            Dalam Collins (2008) dijelaskan bahwa eksistensi internet pada fase yang disebut sebagai Web 2.0 menciptakan fenomena media and file-sharing yang diatur dalam pengawasan hak cipta. Fase ini menbentuk prosumerisme, yaitu bentuk kreativitas dalam mengombinasikan kegiatan mengonsumsi dan memproduksi media untuk menciptakan sebuah karya yang disebarkan online secara luas melalui situs-situs video-sharing seperti YouTube. Prosumerisme menciptakan era kreatif dalam penggunaan media yang ditandai dengan terjadinya beragam penyuntingan, kolaborasi, dan penggunaan dari konten-konten yang ada dimedia untuk memproduksi karya baru. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya penyebaran konten dalam media diatur dibawah pengawasan hak cipta, tentunya salah satunya dalam prosumerisme ini.
            Collins juga menjelaskan pada dasarnya hak cipta diberikan kepada setiap karya agar dapat diberikan batasan dalam penggunaannya di media oleh setiap pengguna yang mengaksesnya. Hal ini bertujuan untuk memicu kreativitas pengguna media agar konten yang terdapat dalam media menjadi lebih bervariasi. Namun korporat melihat hal ini sebagai sebuah potensi yang menguntungkan baginya dalam persaingan pasar. Properti dari korporat akan mendapatkan perlindungan yang lebih baik melalui jalur hukum. Dari sudut pandang ini, adanya hak cipta justru menjadi melenceng dari tujuannya untuk mengembangkan kreativitasnya. Hak cipta dilihat sebagai suatu alasan untuk menuntut suatu pelanggaran melalui cengkraman hukum yang kuat. Ini menyebabkan setiap hal yang memiliki hak cipta harus mendapatkan lisensi penuh dari pemilik bagi penggunanya dengan cara seperti bayaran.
            Memang dengan adanya hak cipta, para pemilik properti tidak sepenuhnya memonopoli propertinya, hal ini diimbangi dengan adanya  fair use. Collins menjelaskan Fair use memang melegalkan penggunaan suatu karya atau properti untuk digunakan tanpa proses lisensi atau ‘gratis,’ namun sangat tergantung dari konteks penggunaanya. Umumnya fair use tidak diperkenakan untuk mereproduksi atau menggunaan karya dan porperti dengan tujuan memperoleh keuntungan secara materil. Contohnya adalah untuk pendidikan atau penelitian. Namun apabila digunakan untuk hal selain itu, pengguna dapat terjerat hukum dan mendapatkan kerugian besar.
Jika ditinjau kembali diasumsikan bahwa sejumlah produk yang memiliki hak cipta hanya dapat diakses secara penuh oleh golongan yang mempu menyanggupi persyaratan lisensinya. Sebagai contoh adalah pada aplikasi Adobe Photoshop. Aplikasi ini memberikan akses yang sangat baik dan mumpuni bagi para desainer untuk mengoptimalkan karya-karyanya. Sayangnya, harga untuk mengakses aplikasi ini dengan lisensi penuh adalah cukup mahal, yaitu sekitar 7 juta rupiah per tahunnya. Hal ini tentu menguntungkan bagi para pemilik modal karena desain grafis merupakan salah satu kegiatan yang menghasilkan cukup banyak keuntungan secara materil. Bagi yang tidak memiliki modal cukup untuk mengakses secara penuh tentu kesulitan untuk meningkatkan kualitas karyanya. Disini terlihat bahwa adanya hak cipta dari photoshop menandakan aplikasi ini ditujukan untuk individu yang memiliki modal. Hal ini semakin memberikan kekuatan bagi orang-orang yang pada dasarnya sudah kuat salah satunya dari segi ekonomi. Padahal seperti yang telah dibahas sebelumnya, hak cipta bertujuan agar banyak individu meningkatkan kreativitasnya. Namun yang terlihat justru ini memberikan peluang opresi pihak-pihak terlibat satu sama lain karena didasari tuntutan pelangaran hak cipta yang berikatan dengan hukum. Disisi lain, adanya hak cipta juga menciptakan ketimpangan dengan keterbatasan dari pihak yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengembagkan kreativitasnya. Perlu ditinjau ulang penerapan dan regulasi dari hak cipta ini agar hal tersebut tidak berlanjut.

Daftar Referensi
Collins, Steve (2008). Recovering fair use, M/C Media Culture 11 (6).


Wednesday, March 1, 2017

Konvergensi Media untuk Siapa?
Suatu konten dalam media dapat mengalami sirkulasi melalui media-media lainnya. Dalam Jenkins (2006), terdapat suatu kasus pada 2001 yaitu“Bert is Evil.” Bert sendiri merupakan sebuah tokoh dari “Sesame Street.” Bert is Evil dimulai ketika seorang siswa SMA, Dino Ignacio menyandingkan gambar Bert dengan Osama Bin Laden menggunakan aplikasi Photoshop. Ignacio mempublikasikan gambar tersebut dalam homepage-nya. Gambar ini kemudian digunakan oleh para demonstran anti-Amerika untuk dicetak di poster atau T-Shirt oleh negara seperti Pakistan. Bert sendiri tidak begitu dikenal oleh para demonstran ini sehingga melalui gambar dari Ignacio tersebut, Bert dianggap sebagai representasi dari pemimpin al-Qaeda. Gambar ini kemudian dicetak dengan ribuan eksemplar kemudian disebarkan di daerah Timur Tengah. Kerumunan demonstran yang beraksi dengan gambar ini diliput oleh CNN hingga tersebar dengan sangat luas. Publisitas yang massif ini timbul hanya karena sekadar tindakan tak terencana Ignacio. Inilah dimana budaya konvergensi terjadi.
            Konvergensi media sendiri dimaknai secara beragam. Konvergensi media dilihat sebagai sirkulasi konten media melalui beberapa platform, kerjasama antara beragam industri media, serta melalui hubungan antara konsumen media dengan produsen media. Selain itu juga, konvergensi media melibatkan elemen partisipasi khalayak terhadap media yang menjadi penyebab adanya sirkulasi konten media terjadi seperti pada kasus Bert is Evil. Jenkins memaknai konvergensi media lebih luas dibanding sekadar pernyataan bahwa konvergensi media merupakan sekadar gabungan dari manfaat beragam teknologi yang dikonversikan menjadi satu perangkat.
            Beragamnya makna ini juga terlihat dalam sejenis konferensi, New Orlean Media Experience pada 2003 yang ditulis dalam Jenkins (2006). Pada acara ini dibahas mengenai banyak hal terkait konvergensi media. Salah satunya, dari perspektif ekonomi politik dan bisnis, konvergensi media dilihat dari segi kepemilikan media dalam tujuan mendapatkan keuntungan maksimal. Melalui perspektif ini, di Indonesia sendiri mengalami konvergensi media meskipun konvergensi yang terjadi di Indonesia hanya sekadar akuisisi kepemilikan industri (Epkamarsa, 2014). Industri media di Indonesia banyak melakukan konvergensi dengan tujuan mempertahankan eksistensi industri bagi industri kecil atau meraih keuntungan yang besar bagi industri yang telah besar. Umumnya suatu industri yang mengalami konvergensi telah memasuki tahapan 3M (multimedia, multichannel, multiplatform) dengan memiliki bentuk cetak, televisi, digital, dan dapat tersebar melalui internet (Epkamarsa, 2014). Contohnya sangat mudah untuk ditelusuri; Kompas Group, CT Group, atau MNC Group. Melalui ini terlihat bahawa sesungguhnya dari banyaknya industri media di Indonesia, seluruhnya memiliki konvergensi dengan beberapa industri besar saja.
            Konvergensi tersebut berpotensi untuk menggerus apa yang disebut diversity of content atau variasi konten dalam konteks demokratisasi media. Apabila seluruh industri media yang berkaitan erat dengan arus informasi dikuasai oleh beberapa pihak saja secara oligopolis, masyarakat hanya dapat mengonsumsi variasi informasi yang sangat terbatas berdasarkan sejumlah penguasa industri media tersebut. penguasaan pasar media dapat berarti penguasaan pasar informasi. Dalam keadaan ini sangat berpotensi terjadinya hegemoni, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Hegemoni merupakan suatu cara yang membentuk pikiran masyarakat agar sesuai dengan sebuah konstruksi yang telah dibentuk sebelumnya (Nezar Patria & Andi Arif dalam Soegiharti, 2009). Selain itu, fenomena ini juga relevan dengan penjelasan dari taori jarum hipodermik. Dalam teori jarum hipodermik, dijelaskan bahwa media “menyuntikkan” pemikiran kepada khalayak yang dianggap pasif.  Sebagai contoh, dalam kepentingan politik suatu media beralih menjadi media-media partisan. Setiap media yang mendukung partai politik tertentu akan menyiarkan informasi terkait kepentingan partai politik, bukan untuk memenuhi kebutuhan khalayak. Terlebih hal ini didukung oleh adanya konvergensi media yang dengan mudah memberikan sirkulasi kepada konten media untuk berada di di berbagai jenis platform. Dari sini dapat dipertanyakan bahwa konvergensi media di Indonesia ditujukan untuk siapa manfaatnya. Apakah lebih ke efisiensi masyarakat dalam mengakses konten melalui sirkulasi konten media dari beragam platform atau untuk kepentingan kapital dan politik para pemilik media.
Daftar referensi
Rayner, Philip dan Wall. (2012). AS Media studies: The essential introduction for Aqa (essential). London: Rouledge.
Jenkins, Henry. (2006). Introduction: Worshhip at the Altar of Convergence.”
Soegiharti, Novie. (2009). “Kajian Hegemoni.” (Literatur). Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Url: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773-Kajian%20hegemoni-Literatur.pdf


Wednesday, February 22, 2017

Gimme my Pokèmon Now
            
Sebagian orang yang melihat meme tersebut pasti akan langsung memahami apa subjek yang akan dibahas dalam tulisan ini. Sebuah video game dari Nintendo yang sangat populer sejak tahun 90an hingga sekarang, Pokemon. Perkembangan dari game ini tidak pernah mengalami kesurutan. Telah dirilis sangat banyak versi dari game ini melalui berbagai inovasi dari segi grafis, alur cerita, dan fitur-fitur lainnya. Versi paling awal dari game ini adalah Pokemon RGB hingga yang terbaru adalah Pokemon Sun & Moon.
          
  Untuk sebagian yang belum memahaminya, penulis akan menjelaskan sedikit mengenai pembahasan kali ini. Pokemon adalah sutu jenis makhluk hidup dalam ‘dunia’ game tersebut yang memiliki kekuatan-kekuatan khusus. Melalui kekuatan itu, para manusia dalam dunia game tersebut memanfaatkan pokemon dalam aktivitas mereka. Salah satu aktivitas yang sangat ditonjolkan dalam game ini adalah Pokemon Battle, yaitu pertarungan antarpokemon yang ‘ditangkap’ atau ‘dimiliki’ oleh para manusia di dunia tersebut termasuk si karakter utama. Sebagai sebuah video game, tentu Pokemon memiliki plot cerita didalamnya. Umumnya, plot dari game ini adalah mengenai seorang karakter utama (pemain dapat memilih gender karakter di awal permainan) yang bertualang untuk membantu penelitian seorang profesor dalam mengidentifikasi data spesies-spesies Pokemon yang tersebar di sebuah region. Melalui petualangan tersebut, karakter utama menciptakan ambisi lainnya untuk menjadi seorang champion dalam kompetisi nasional ‘Pokemon Battle.’  Meskipun demikian, beberapa versi khusus dari game ini memiliki variasi plot dan bentuk seperti Pokemon Red Rescue Team, Pokemon Ranger, atau Pokemon Dash.
            Kesuksesan dari video game Pokemon merupakan keberlanjutan dari pencapaian Nintendo setelah game legendaris lainnya; Super Mario Bros. Kesuksesan dari penjualan game hingga jutaan eksemplar mengindikasikan banyaknya permintaan dari pasar terhadap ‘game’ sehingga Nintendo melakukan inovasi untuk memenuhi permintaan ini. Fenomena ini merupakan bentuk Social Construct of Technology (SCOT).
Pada dasarnya, manusia hidup dalam memenuhi beragam kebutuhannya. Dalam upaya tersebut, salah satu solusi yang direalisasikan adalah menciptakan suatu teknologi yang relevan. Game sendiri lahir dari kebutuhan manusia terhadap hiburan, pada umumnya. Kesuksesan dari suatu penciptaan teknologi berdasarkan permintaan pengguna di pasar diasumsikan akan menstimulus manusia untuk menciptakan teknologi relevan yang lebih memuaskan pengguna. Asumsi ini timbul berdasarkan penjelasan dari SCOT. Perspektif pada SCOT berfokus pada kemunculan teknologi yang distimulus oleh adanya suatuproses sosial (Baym, 1993). SCOT merupakan sebuah kritik terhadap pandangan determinisme teknologi karena dalam penjelasannya memiliki makna berlawanan. William, 2003 menentang asumsi determinisme yang seakan-akan menyatakan bahwa teknologi mengalami perkembangan dengan sendirinya. William mengatakan dalam bukunya ‘the Technology and Society’ bahwa ia memandang teknologi sebagai hasil dari suatu proses riset dan pengembangan yang dilakukan secara sengaja berdasarkan kebutuhan, tujuan, dan praktik masyarakat.

pokemon graphic evolution
Perkembangan dari Pokemon dapat dilihat melalui perspektif SCOT. Seperti yang telah dibahas diawal, Nintendo terus melakukan pengembangan terhadap video game ini. Game pokemon pada versi awal, Pokemon RGB, memiliki grafik yang masih sangat sederhana dan hanya dengan palet warna monokrom saja. Pada saat itu, platform yang digunakan pun masih cukup sederhana, yaitu Nintendo Game Boy Color dengan ukuran layar yang kecil dan keterbatasan lainnya. Kemudian dalam mempertahankan kepuasan pasar, Nintendo melakukan inovasi dalam game ini dengan kemudian merilis Pokemon GSC. Dari segi grafik, kedua game ini masih belum mengalami perbedaan signifikan, namun GSC telah mengalami pewarnaan dan dengan improvisasi dari dalam game tersebut seperti plot yang baru dan fitur-fitur eksklusif. Kembali dalam tujuan memberikan kepuasan pada pasar, selain dari sisi game, nintendo mengembangkan dari sisi platformnya. Game Boy Color digantikan oleh Game Boy Advance(GBA) yang memiliki fitur jauh lebih lengkap. GBA tentunya menyajikan video game dengan grafik yang sudah lebih baik dengan membawa game Pokemon Emerald. Bahkan pada tahapan ini, Nintendo menciptakan game Pokemon yang merupakan remake dari Pokemon RGB, yaitu Pokemon FR/LG dengan grafik, musik, dan performa yang lebih mumpuni. Hingga seterusnya dan sampai pada saat sekarang dimana platform dari Nintendo terbaru, 3DS sudah memiliki fitur yang lengkap seperti WiFi, layar sentuh, gyroscope, dan layar yang jauh lebih lebar. Segala perkembangan ini dilakukan oleh Nintendo dalam rangka mempertahankan kepuasan dari pasar yang dilihat dari jumlah permintaannya dalam pembaruan teknologi. Dari sini dapat terbukti bahwa teknologi memang sengaja diciptakan dan diekndalikan dari segi produksi, distribusi, dan penggunaannya oleh manusia.

Daftar Referensi
Baym, Nancy K. (2010). Personal Connections in the Digital Age. Malden, MA: Policy
Williams, R., & Williams, E. (2003). Television: Technology and cultural form. Psychology Press.



thanks for reading, you're my champion