Konvergensi Media
untuk Siapa?
Suatu
konten dalam media dapat mengalami sirkulasi melalui media-media lainnya. Dalam
Jenkins (2006), terdapat suatu kasus pada 2001 yaitu“Bert is Evil.” Bert
sendiri merupakan sebuah tokoh dari “Sesame Street.” Bert is Evil dimulai ketika
seorang siswa SMA, Dino Ignacio menyandingkan gambar Bert dengan Osama Bin
Laden menggunakan aplikasi Photoshop. Ignacio mempublikasikan gambar tersebut
dalam homepage-nya. Gambar ini
kemudian digunakan oleh para demonstran anti-Amerika untuk dicetak di poster
atau T-Shirt oleh negara seperti
Pakistan. Bert sendiri tidak begitu dikenal oleh para demonstran ini sehingga
melalui gambar dari Ignacio tersebut, Bert dianggap sebagai representasi dari
pemimpin al-Qaeda. Gambar ini kemudian dicetak dengan ribuan eksemplar kemudian
disebarkan di daerah Timur Tengah. Kerumunan demonstran yang beraksi dengan
gambar ini diliput oleh CNN hingga tersebar dengan sangat luas. Publisitas yang
massif ini timbul hanya karena sekadar tindakan tak terencana Ignacio. Inilah dimana
budaya konvergensi terjadi.
Konvergensi media sendiri dimaknai
secara beragam. Konvergensi media dilihat sebagai sirkulasi konten media
melalui beberapa platform, kerjasama
antara beragam industri media, serta melalui hubungan antara konsumen media
dengan produsen media. Selain itu juga, konvergensi media melibatkan elemen partisipasi
khalayak terhadap media yang menjadi penyebab adanya sirkulasi konten media
terjadi seperti pada kasus Bert is Evil.
Jenkins memaknai konvergensi media lebih luas dibanding sekadar pernyataan
bahwa konvergensi media merupakan sekadar gabungan dari manfaat beragam
teknologi yang dikonversikan menjadi satu perangkat.
Beragamnya makna ini juga terlihat dalam
sejenis konferensi, New Orlean Media Experience pada 2003 yang ditulis dalam
Jenkins (2006). Pada acara ini dibahas mengenai banyak hal terkait konvergensi
media. Salah satunya, dari perspektif ekonomi politik dan bisnis, konvergensi
media dilihat dari segi kepemilikan media dalam tujuan mendapatkan keuntungan
maksimal. Melalui perspektif ini, di Indonesia sendiri mengalami konvergensi
media meskipun konvergensi yang terjadi di Indonesia hanya sekadar akuisisi
kepemilikan industri (Epkamarsa, 2014). Industri media di Indonesia banyak
melakukan konvergensi dengan tujuan mempertahankan eksistensi industri bagi
industri kecil atau meraih keuntungan yang besar bagi industri yang telah besar.
Umumnya suatu industri yang mengalami konvergensi telah memasuki tahapan 3M (multimedia, multichannel, multiplatform)
dengan memiliki bentuk cetak, televisi, digital, dan dapat tersebar melalui
internet (Epkamarsa, 2014). Contohnya sangat mudah untuk ditelusuri; Kompas
Group, CT Group, atau MNC Group. Melalui ini terlihat bahawa sesungguhnya dari
banyaknya industri media di Indonesia, seluruhnya memiliki konvergensi dengan
beberapa industri besar saja.
Konvergensi tersebut berpotensi
untuk menggerus apa yang disebut diversity
of content atau variasi konten dalam konteks demokratisasi media. Apabila seluruh
industri media yang berkaitan erat dengan arus informasi dikuasai oleh beberapa
pihak saja secara oligopolis, masyarakat hanya dapat mengonsumsi variasi
informasi yang sangat terbatas berdasarkan sejumlah penguasa industri media
tersebut. penguasaan pasar media dapat berarti penguasaan pasar informasi. Dalam
keadaan ini sangat berpotensi terjadinya hegemoni, sebuah konsep yang
dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Hegemoni merupakan suatu cara yang membentuk pikiran masyarakat
agar sesuai dengan sebuah konstruksi yang telah dibentuk sebelumnya (Nezar Patria
& Andi Arif dalam Soegiharti, 2009). Selain itu, fenomena ini juga relevan
dengan penjelasan dari taori jarum hipodermik. Dalam teori jarum hipodermik,
dijelaskan bahwa media “menyuntikkan” pemikiran kepada khalayak yang dianggap
pasif. Sebagai contoh, dalam kepentingan
politik suatu media beralih menjadi media-media partisan. Setiap media yang
mendukung partai politik tertentu akan menyiarkan informasi terkait kepentingan
partai politik, bukan untuk memenuhi kebutuhan khalayak. Terlebih hal ini
didukung oleh adanya konvergensi media yang dengan mudah memberikan sirkulasi
kepada konten media untuk berada di di berbagai jenis platform. Dari sini dapat dipertanyakan bahwa konvergensi media di
Indonesia ditujukan untuk siapa manfaatnya. Apakah lebih ke efisiensi
masyarakat dalam mengakses konten melalui sirkulasi konten media dari beragam platform atau untuk kepentingan kapital
dan politik para pemilik media.
Daftar referensi
Rayner, Philip dan Wall. (2012). AS Media studies: The essential introduction
for Aqa (essential). London: Rouledge.
Jenkins, Henry. (2006). Introduction:
“Worshhip at the Altar of
Convergence.”
Soegiharti,
Novie. (2009). “Kajian Hegemoni.” (Literatur). Universitas
Indonesia, Depok, Indonesia. Url: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773-Kajian%20hegemoni-Literatur.pdf
Menarik bagaimana Anda membahas konvergensi media di Indonesia dari sudut pandang industri. Perusahaan media di Indonesia melebarkan sayap mereka ke media baru untuk menjaring lebih banyak audience. Banyak audience berarti banyak iklan. Banyak iklan berarti banyak uang. Menarik juga bagaimana Anda membahas diversity of content yang malah menjadi tidak beragam karena kepemilikan yang terpusat pada beberapa pihak. Fenomena tersebut membuat informasi yang didapat masyarakat terbatas dari sudut pandang yang itu-itu saja. Lanjutgan!
ReplyDeleteHalo eko! Meenurut gua tulisan lo udah keren banget! Analisisnya juga luar biasa! Mengambil perspektif lain dari konvergensi media itu sendiri. Menurut saya, apa yang lo bilang mengenai twori jarum suntik tidak bisa dikatakan 100 persen benar, karena dewasa ini masyarakat sudah bisa memilah mana media yang cocok untuknya. Gua bisa mengatakan hal tersebut karena gua adalah contoh dr pernyataan tersebut. Gua lebih memilih untuk tidak menonton tv karena tidak adanya diversity of content dan beralih ke youtube dengan pilihan konten lebih banyak. Hal itu sesuai dengan teori dari Stuart Hall yang bernama Uses and Gratification Theory.
ReplyDelete