Wednesday, March 1, 2017

Konvergensi Media untuk Siapa?
Suatu konten dalam media dapat mengalami sirkulasi melalui media-media lainnya. Dalam Jenkins (2006), terdapat suatu kasus pada 2001 yaitu“Bert is Evil.” Bert sendiri merupakan sebuah tokoh dari “Sesame Street.” Bert is Evil dimulai ketika seorang siswa SMA, Dino Ignacio menyandingkan gambar Bert dengan Osama Bin Laden menggunakan aplikasi Photoshop. Ignacio mempublikasikan gambar tersebut dalam homepage-nya. Gambar ini kemudian digunakan oleh para demonstran anti-Amerika untuk dicetak di poster atau T-Shirt oleh negara seperti Pakistan. Bert sendiri tidak begitu dikenal oleh para demonstran ini sehingga melalui gambar dari Ignacio tersebut, Bert dianggap sebagai representasi dari pemimpin al-Qaeda. Gambar ini kemudian dicetak dengan ribuan eksemplar kemudian disebarkan di daerah Timur Tengah. Kerumunan demonstran yang beraksi dengan gambar ini diliput oleh CNN hingga tersebar dengan sangat luas. Publisitas yang massif ini timbul hanya karena sekadar tindakan tak terencana Ignacio. Inilah dimana budaya konvergensi terjadi.
            Konvergensi media sendiri dimaknai secara beragam. Konvergensi media dilihat sebagai sirkulasi konten media melalui beberapa platform, kerjasama antara beragam industri media, serta melalui hubungan antara konsumen media dengan produsen media. Selain itu juga, konvergensi media melibatkan elemen partisipasi khalayak terhadap media yang menjadi penyebab adanya sirkulasi konten media terjadi seperti pada kasus Bert is Evil. Jenkins memaknai konvergensi media lebih luas dibanding sekadar pernyataan bahwa konvergensi media merupakan sekadar gabungan dari manfaat beragam teknologi yang dikonversikan menjadi satu perangkat.
            Beragamnya makna ini juga terlihat dalam sejenis konferensi, New Orlean Media Experience pada 2003 yang ditulis dalam Jenkins (2006). Pada acara ini dibahas mengenai banyak hal terkait konvergensi media. Salah satunya, dari perspektif ekonomi politik dan bisnis, konvergensi media dilihat dari segi kepemilikan media dalam tujuan mendapatkan keuntungan maksimal. Melalui perspektif ini, di Indonesia sendiri mengalami konvergensi media meskipun konvergensi yang terjadi di Indonesia hanya sekadar akuisisi kepemilikan industri (Epkamarsa, 2014). Industri media di Indonesia banyak melakukan konvergensi dengan tujuan mempertahankan eksistensi industri bagi industri kecil atau meraih keuntungan yang besar bagi industri yang telah besar. Umumnya suatu industri yang mengalami konvergensi telah memasuki tahapan 3M (multimedia, multichannel, multiplatform) dengan memiliki bentuk cetak, televisi, digital, dan dapat tersebar melalui internet (Epkamarsa, 2014). Contohnya sangat mudah untuk ditelusuri; Kompas Group, CT Group, atau MNC Group. Melalui ini terlihat bahawa sesungguhnya dari banyaknya industri media di Indonesia, seluruhnya memiliki konvergensi dengan beberapa industri besar saja.
            Konvergensi tersebut berpotensi untuk menggerus apa yang disebut diversity of content atau variasi konten dalam konteks demokratisasi media. Apabila seluruh industri media yang berkaitan erat dengan arus informasi dikuasai oleh beberapa pihak saja secara oligopolis, masyarakat hanya dapat mengonsumsi variasi informasi yang sangat terbatas berdasarkan sejumlah penguasa industri media tersebut. penguasaan pasar media dapat berarti penguasaan pasar informasi. Dalam keadaan ini sangat berpotensi terjadinya hegemoni, sebuah konsep yang dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Hegemoni merupakan suatu cara yang membentuk pikiran masyarakat agar sesuai dengan sebuah konstruksi yang telah dibentuk sebelumnya (Nezar Patria & Andi Arif dalam Soegiharti, 2009). Selain itu, fenomena ini juga relevan dengan penjelasan dari taori jarum hipodermik. Dalam teori jarum hipodermik, dijelaskan bahwa media “menyuntikkan” pemikiran kepada khalayak yang dianggap pasif.  Sebagai contoh, dalam kepentingan politik suatu media beralih menjadi media-media partisan. Setiap media yang mendukung partai politik tertentu akan menyiarkan informasi terkait kepentingan partai politik, bukan untuk memenuhi kebutuhan khalayak. Terlebih hal ini didukung oleh adanya konvergensi media yang dengan mudah memberikan sirkulasi kepada konten media untuk berada di di berbagai jenis platform. Dari sini dapat dipertanyakan bahwa konvergensi media di Indonesia ditujukan untuk siapa manfaatnya. Apakah lebih ke efisiensi masyarakat dalam mengakses konten melalui sirkulasi konten media dari beragam platform atau untuk kepentingan kapital dan politik para pemilik media.
Daftar referensi
Rayner, Philip dan Wall. (2012). AS Media studies: The essential introduction for Aqa (essential). London: Rouledge.
Jenkins, Henry. (2006). Introduction: Worshhip at the Altar of Convergence.”
Soegiharti, Novie. (2009). “Kajian Hegemoni.” (Literatur). Universitas Indonesia, Depok, Indonesia. Url: http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/128578-T%2026773-Kajian%20hegemoni-Literatur.pdf


2 comments:

  1. Menarik bagaimana Anda membahas konvergensi media di Indonesia dari sudut pandang industri. Perusahaan media di Indonesia melebarkan sayap mereka ke media baru untuk menjaring lebih banyak audience. Banyak audience berarti banyak iklan. Banyak iklan berarti banyak uang. Menarik juga bagaimana Anda membahas diversity of content yang malah menjadi tidak beragam karena kepemilikan yang terpusat pada beberapa pihak. Fenomena tersebut membuat informasi yang didapat masyarakat terbatas dari sudut pandang yang itu-itu saja. Lanjutgan!

    ReplyDelete
  2. Halo eko! Meenurut gua tulisan lo udah keren banget! Analisisnya juga luar biasa! Mengambil perspektif lain dari konvergensi media itu sendiri. Menurut saya, apa yang lo bilang mengenai twori jarum suntik tidak bisa dikatakan 100 persen benar, karena dewasa ini masyarakat sudah bisa memilah mana media yang cocok untuknya. Gua bisa mengatakan hal tersebut karena gua adalah contoh dr pernyataan tersebut. Gua lebih memilih untuk tidak menonton tv karena tidak adanya diversity of content dan beralih ke youtube dengan pilihan konten lebih banyak. Hal itu sesuai dengan teori dari Stuart Hall yang bernama Uses and Gratification Theory.

    ReplyDelete