Friday, March 10, 2017

The “Left” Right of the Copyright
            Dalam Collins (2008) dijelaskan bahwa eksistensi internet pada fase yang disebut sebagai Web 2.0 menciptakan fenomena media and file-sharing yang diatur dalam pengawasan hak cipta. Fase ini menbentuk prosumerisme, yaitu bentuk kreativitas dalam mengombinasikan kegiatan mengonsumsi dan memproduksi media untuk menciptakan sebuah karya yang disebarkan online secara luas melalui situs-situs video-sharing seperti YouTube. Prosumerisme menciptakan era kreatif dalam penggunaan media yang ditandai dengan terjadinya beragam penyuntingan, kolaborasi, dan penggunaan dari konten-konten yang ada dimedia untuk memproduksi karya baru. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya penyebaran konten dalam media diatur dibawah pengawasan hak cipta, tentunya salah satunya dalam prosumerisme ini.
            Collins juga menjelaskan pada dasarnya hak cipta diberikan kepada setiap karya agar dapat diberikan batasan dalam penggunaannya di media oleh setiap pengguna yang mengaksesnya. Hal ini bertujuan untuk memicu kreativitas pengguna media agar konten yang terdapat dalam media menjadi lebih bervariasi. Namun korporat melihat hal ini sebagai sebuah potensi yang menguntungkan baginya dalam persaingan pasar. Properti dari korporat akan mendapatkan perlindungan yang lebih baik melalui jalur hukum. Dari sudut pandang ini, adanya hak cipta justru menjadi melenceng dari tujuannya untuk mengembangkan kreativitasnya. Hak cipta dilihat sebagai suatu alasan untuk menuntut suatu pelanggaran melalui cengkraman hukum yang kuat. Ini menyebabkan setiap hal yang memiliki hak cipta harus mendapatkan lisensi penuh dari pemilik bagi penggunanya dengan cara seperti bayaran.
            Memang dengan adanya hak cipta, para pemilik properti tidak sepenuhnya memonopoli propertinya, hal ini diimbangi dengan adanya  fair use. Collins menjelaskan Fair use memang melegalkan penggunaan suatu karya atau properti untuk digunakan tanpa proses lisensi atau ‘gratis,’ namun sangat tergantung dari konteks penggunaanya. Umumnya fair use tidak diperkenakan untuk mereproduksi atau menggunaan karya dan porperti dengan tujuan memperoleh keuntungan secara materil. Contohnya adalah untuk pendidikan atau penelitian. Namun apabila digunakan untuk hal selain itu, pengguna dapat terjerat hukum dan mendapatkan kerugian besar.
Jika ditinjau kembali diasumsikan bahwa sejumlah produk yang memiliki hak cipta hanya dapat diakses secara penuh oleh golongan yang mempu menyanggupi persyaratan lisensinya. Sebagai contoh adalah pada aplikasi Adobe Photoshop. Aplikasi ini memberikan akses yang sangat baik dan mumpuni bagi para desainer untuk mengoptimalkan karya-karyanya. Sayangnya, harga untuk mengakses aplikasi ini dengan lisensi penuh adalah cukup mahal, yaitu sekitar 7 juta rupiah per tahunnya. Hal ini tentu menguntungkan bagi para pemilik modal karena desain grafis merupakan salah satu kegiatan yang menghasilkan cukup banyak keuntungan secara materil. Bagi yang tidak memiliki modal cukup untuk mengakses secara penuh tentu kesulitan untuk meningkatkan kualitas karyanya. Disini terlihat bahwa adanya hak cipta dari photoshop menandakan aplikasi ini ditujukan untuk individu yang memiliki modal. Hal ini semakin memberikan kekuatan bagi orang-orang yang pada dasarnya sudah kuat salah satunya dari segi ekonomi. Padahal seperti yang telah dibahas sebelumnya, hak cipta bertujuan agar banyak individu meningkatkan kreativitasnya. Namun yang terlihat justru ini memberikan peluang opresi pihak-pihak terlibat satu sama lain karena didasari tuntutan pelangaran hak cipta yang berikatan dengan hukum. Disisi lain, adanya hak cipta juga menciptakan ketimpangan dengan keterbatasan dari pihak yang tidak memiliki sumber daya cukup untuk mengembagkan kreativitasnya. Perlu ditinjau ulang penerapan dan regulasi dari hak cipta ini agar hal tersebut tidak berlanjut.

Daftar Referensi
Collins, Steve (2008). Recovering fair use, M/C Media Culture 11 (6).


No comments:

Post a Comment