The “Left” Right
of the Copyright
Dalam Collins (2008) dijelaskan
bahwa eksistensi internet pada fase yang disebut sebagai Web 2.0 menciptakan
fenomena media and file-sharing yang
diatur dalam pengawasan hak cipta. Fase ini menbentuk prosumerisme, yaitu bentuk
kreativitas dalam mengombinasikan kegiatan mengonsumsi dan memproduksi media
untuk menciptakan sebuah karya yang disebarkan online secara luas melalui situs-situs video-sharing seperti YouTube. Prosumerisme menciptakan era kreatif
dalam penggunaan media yang ditandai dengan terjadinya beragam penyuntingan,
kolaborasi, dan penggunaan dari konten-konten yang ada dimedia untuk
memproduksi karya baru. Namun seperti yang telah dibahas sebelumnya penyebaran
konten dalam media diatur dibawah pengawasan hak cipta, tentunya salah satunya
dalam prosumerisme ini.
Collins juga menjelaskan pada
dasarnya hak cipta diberikan kepada setiap karya agar dapat diberikan batasan
dalam penggunaannya di media oleh setiap pengguna yang mengaksesnya. Hal ini
bertujuan untuk memicu kreativitas pengguna media agar konten yang terdapat
dalam media menjadi lebih bervariasi. Namun korporat melihat hal ini sebagai
sebuah potensi yang menguntungkan baginya dalam persaingan pasar. Properti dari
korporat akan mendapatkan perlindungan yang lebih baik melalui jalur hukum. Dari
sudut pandang ini, adanya hak cipta justru menjadi melenceng dari tujuannya
untuk mengembangkan kreativitasnya. Hak cipta dilihat sebagai suatu alasan
untuk menuntut suatu pelanggaran melalui cengkraman hukum yang kuat. Ini
menyebabkan setiap hal yang memiliki hak cipta harus mendapatkan lisensi penuh
dari pemilik bagi penggunanya dengan cara seperti bayaran.
Memang dengan adanya hak cipta, para
pemilik properti tidak sepenuhnya memonopoli propertinya, hal ini diimbangi
dengan adanya fair use. Collins menjelaskan Fair
use memang melegalkan penggunaan suatu karya atau properti untuk digunakan
tanpa proses lisensi atau ‘gratis,’ namun sangat tergantung dari konteks
penggunaanya. Umumnya fair use tidak
diperkenakan untuk mereproduksi atau menggunaan karya dan porperti dengan
tujuan memperoleh keuntungan secara materil. Contohnya adalah untuk pendidikan
atau penelitian. Namun apabila digunakan untuk hal selain itu, pengguna dapat
terjerat hukum dan mendapatkan kerugian besar.
Jika
ditinjau kembali diasumsikan bahwa sejumlah produk yang memiliki hak cipta
hanya dapat diakses secara penuh oleh golongan yang mempu menyanggupi
persyaratan lisensinya. Sebagai contoh adalah pada aplikasi Adobe Photoshop. Aplikasi
ini memberikan akses yang sangat baik dan mumpuni bagi para desainer untuk
mengoptimalkan karya-karyanya. Sayangnya, harga untuk mengakses aplikasi ini
dengan lisensi penuh adalah cukup mahal, yaitu sekitar 7 juta rupiah per
tahunnya. Hal ini tentu menguntungkan bagi para pemilik modal karena desain
grafis merupakan salah satu kegiatan yang menghasilkan cukup banyak keuntungan
secara materil. Bagi yang tidak memiliki modal cukup untuk mengakses secara
penuh tentu kesulitan untuk meningkatkan kualitas karyanya. Disini terlihat
bahwa adanya hak cipta dari photoshop menandakan aplikasi ini ditujukan untuk
individu yang memiliki modal. Hal ini semakin memberikan kekuatan bagi
orang-orang yang pada dasarnya sudah kuat salah satunya dari segi ekonomi. Padahal
seperti yang telah dibahas sebelumnya, hak cipta bertujuan agar banyak individu
meningkatkan kreativitasnya. Namun yang terlihat justru ini memberikan peluang
opresi pihak-pihak terlibat satu sama lain karena didasari tuntutan pelangaran
hak cipta yang berikatan dengan hukum. Disisi lain, adanya hak cipta juga
menciptakan ketimpangan dengan keterbatasan dari pihak yang tidak memiliki
sumber daya cukup untuk mengembagkan kreativitasnya. Perlu ditinjau ulang
penerapan dan regulasi dari hak cipta ini agar hal tersebut tidak berlanjut.
Daftar Referensi
Collins, Steve (2008). Recovering
fair use, M/C Media Culture 11 (6).
No comments:
Post a Comment